Ustadz Mamat: Sang Mujahid Itu Telah Tiada

January 22, 2020

Oleh : Tantan Hermansah


Saya dan mungkin sebagian besar jamaah dan santrinya menyebutnya Ustadz Mamat saja. Nama panjang beliau: Mamat Abdurahman. Nama ini hanya dikenalkan ketika acara formal atau pada lembaran surat dan keadministrasian saja. Selebihnya, informal saja. Bahasa anak sekarang mah: santuy. Bahkan, tidak ada embel-embel Kiai Hajji, walau beliau itu pimpinan pesantren, tokoh agama, dan sering bolak balik menjadi pembimbing ibadah hajji dan umrah.

Sudah lama dikenal di kalangan jamaah Persatuan Islam (Persis), bahwa adab antara guru murid sangat biasa saja. Tidak ada sun tangan jika bersalaman. Kalaupun lewat ke hadapan para asatidz itu, ya… menunduk seperlunya saja.
Dalam komunitas jamaah Persis, nyaris tidak batas relasional antara guru, murid, jamaah, simpatisan, atau siapapun.


Kebersahajaan ini yang kemudian merembet pada perilaku sehari-hari. Pernah, suatu waktu, Ustadz Mamat pergi mau memberikan ceramah ke tempat lain. Beliau menyopiri mobilnya sendiri. Ditemani Ujang, teman sekelas saya di pesantren. Mobil beliau adalah sebuah carry losbak. Dan seperti kami ketahui bersama, di Persis, dandanan ustadz juga tidak terlalu diformalkan. Jadi tidak kelihatan seperti guru agama.

Jauh sebelum ada ustadz gaul (paka kaos kasual, bertopi, kupluk, atau tidak berkopiah sama sekali) ada, di Persis mah biasa. Ustadz saya yang lain, karena petani juga, pernah khutbah pake topi laken. Topi a la koboi dari kulit sapi, dengan kaos kerah dan celana jeans. Biasa saja.

Di perjalanan, menurut cerita Ujang, ada seorang petani menghentikan mobil tersebut. Petani itu mau menjual hasil kebunnya ke pasar. Ustadz Mamat berhenti. Sambil berkata ke Ujang, "tuh aya nu nyewa. Lumayan untuk ngabensinan”. Ustadz Mamat dan Ujang turun. Beliau membantu petani untuk menaikkan hasil pertaniannya ke mobil. Dan petani serta hasil buminya itu diantarkannya ke Pasar Induk Garut. Apakah digratiskan? Tidak. Biasa saja. Sang petani membayar jasa mobil losbak yang dipergunakan untuk mengangkut hasil panennya. Cuma, Ustadz Mamat tidak mematok ongkos. Menggunakan ukuran biasa saja.

Di kali lain, karena pesantren kami itu menyatu dengan penduduk, kadang-kadang sambil menunggu kelas dimulai, kami menunggunya di rumah Ujang. Maklum, di rumahnya ada satu set radio tape. Kami di situ berkumpul, sambil mendengarkan lagu. Kaset yang ada satu-satunya waktu itu adalah album Nike Ardilla. Sisanya ada juga: nasheed. Ketika kami asyik nyanyi-nyanyi itu, Ustadz Mamat datang menghampiri sambil berkata: “sekalian bae kelas dipindah ke sini!” Kami pun birat (ngibrit/ jalan cepat) menuju kelas.

Sependek ingatan saya, Ustadz Mamat tidak banyak mengajar di kelas. Mata pelajaran yang diberikan beliau di kelas-kelas adalah Nahwu, lalu pernah juga Arab Pasar (bukan arab fusha), dan selebihnya tafsir tematik. Pelajaran tafsir tematik diberikan biasanya untuk anak-anak santri yang mondok saja. Jam pelajarannya pun biasanya habis magrib dan isya. Istilahnya: kultum alias “Kuliah Tunggu Makan”.

Ust. Mamat adalah guru yang sederhana dan bersahaja. Tetapi sikapnya itu juga yang kemudian di mata siapapun, kharisma beliau sangat kuat. Beliau mudah bergaul dengan siapapun. Tanpa memandang umur dan kedudukan. Sangat cair dan menyenangkan.

Ketika saya menggarap tesis S2, arena risetnya itu adalah masyarakat tempat beliau tinggal berikut pesantrennya. Ust. Mamat satu-satunya orang yang mengetahui bahwa saya sedang melakukan penelitian. Saya sendiri menyimpan beberapa peralatan riset seperti buku catatan dan laptop di rumah Ujang. Jadi hanya Ujang dan Ust Mamat yang mengetahui bahwa saya sedang melakukan penelitian di komunitas ini.

Mengapa hanya mereka berdua? Karena riset yang saya lakukan pendekatannya grounded research. Di mana prosesnya tidak bisa dinyatakan secara terbuka kepada subyek yang diteliti. Setelah selesai dan saya dinyatakan layak menyandang gelar magister, pun hanya beliau yang saya berikan 1 eksemplar tesisnya. Saya tidak mengetahui, apakah kemudian beliau memberikan penjelasan kepada masyarakat mengapa selama hampir setengah tahun, saya selalu bulak balik dan bahkan menginap di Kampung Garogol.

Saya mengetahui bahwa Ust Mamat sudah beberapa tahun ini kurang sehat. Sewaktu Bapak saya meninggal, Ust. Mamat juga yang melepaskan jenazah Bapak di kuburan. Di bawah paranggong waluh (labu siam), beliau memberikan “kata perpisahan” yang selalu membekas di hati saya. Kata pelepasan yang disampaikan seperti biasa: ringkas, cergas, dan kena di hati.

Ust Mamat adalah salah satu perintis Pesantren Persatuan Islam No. 73 di Kampung Garogol, Kecamatan Samarang, Garut. Jangan melihat pesantren yang besar ini sekarang. Sebab, besarnya pesantren ini tidak akan mewujud jika jerih payah dan semangat Ust Mamat dalam merintis, mengembangkan, dan merawatnya. Beliau sangat pantas disebut sebagai sang mujahid. Karena pengabdian dan loyalitasnya yang luar biasa untuk Islam dan ummatnya. Kaya wawasan dan pergaulan tidak menyebabkan beliau 'berbeda'. Bahkan ketika menjadi Pimpinan Daerah Persis Garut, beliau tetap saja seperti biasa.

Maka, mendengar pagi tadi, beliau wafat meninggalkan kita semua, ada rasa sesal juga karena belum sempat menengoknya kembali. Terutama di saat-saat akhir menjelang beliau dirawat dan menghembuskan nafas untuk menemui-Nya.

***
Sebuah kisah kecil di kelas. Ketika kami agak rebut. Waktu itu kelas 3 muallimin. Masa pubertas atau apa yang membuat kami, anak-anak kelas 3 itu, agak nakal dan menjadi perhatian lembaga. Kemudian, secara mendadak Ust. Mamat datang. Kami ditanyai satu persatu.
“Fulan [sengaja saya samarkan], kalian begini, salah ana, atau salah antum?” Kata Ust. Mamat sambil menunjukkan gerak tangan ana ke diri sendiri, dan antum ke kami.
Karena gugup, kawan saya menjawab: “Salah antum!” sambil menunjuk ke dadanya sendiri. Kami mau tertawa, tetapi charisma Ust Mamat membuat kami hanya menahannya saja di dada.
Kemudian Ust. Mamat beralih ke santri berikutnya: “coba kamu jelaskan alasan, mengapa melakukan itu?” Kata Ust Mamat ke fulan yang lain (mungkin santri ke11 lebih).
Si Fulan, santri itu menjawab, “sama dengan kalian-kalian, Tadz” (Mungkin maksudnya sama dengan mereka, tapi gugup). Kami pun semakin sesak menahan sakit di dada karena ingin tertawa.
Begitulah Ust. Mamat. Meski terkesan serius, sebenarnya beliau kadang-kadang juga sering bercanda dengan kami santri-santrinya.
***

Selamat Jalan Guru Kami. Syurga sudah tidak sabar menantimu.

Tantan Hermansah
(Kaprodi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta; Sekjen Perkumpulan Pengembang Masyarakat Islam [P2MI] se-Indonesia)

No comments:

Post a Comment