Satrio Piningit Dalam Agama Wahyu
July 10, 2015
Di musim Pilkada dan Pemilu Nasional, kalau ada para politisi yang dirancang oleh ahli komunikasinya menisbatkan diri sebagai Satrio Piningit, maka itu adalah kebohongan besar. Mana ada politisi berjuang melawan ketidakadilan yang sangat militan sebagaimana militansi seorang Nabi membebaskan perbudakan.
Satrio Piningit dalam tradisi agama-agama langit biasa disebut sebagai paham “messianisme”. Cendikiawan Nurcholish Madjid pernah mengulas lengkap tentang paham ini. Ia mendefinisikan messianisme merupakan faham menantikan datangnya seorang "messiah" yang diharapkan menyelamatkan umat manusia.
Pembebasan tersebut dilakukan dengan cara berjuang melawan perilaku dan watak seenak perut sendiri sebuah rezim. Karena itu tema paling menonjol dari kehadiran seorang Messias adalah melawan ketidakadilan.
Perkataan "messiah" berasal dari bahasa Ibrani, yaitu "messiah". Kata ini padanan dari perkataan Arab “al-masih”. Dalam sejarah, mesianisme merupakan faham keagamaan yang sangat kuat dan muncul pertama kali di kalangan bangsa Yahudi. Ketika itu kaum Yahudi mengalami perbudakan di Babilonia sekitar tujuh abad lebih sebelum Masehi.
Perbudakan itu terjadi sebagai akibat kekalahan mereka menghadapi serbuan tentera Nebukadnezar yang menghancurkan negeri mereka. Ketika itu wilayah negeri Yahudi meliputi Samaria dan Judea, di Kanaan di Palestina Selatan dan di Yerusalem, tepatnya di Bait al-Maqdis yang menjadi ibukota mereka. Kaum Yahudi kala itu kalah, lalu diboyong ke lembah Mesopotamia untuk kerja paksa.
Dalam keadaan sangat tidak berdaya, kaum Yahudi begitu putus asa, sampai-sampai mereka memohon pembebasan kepada Tuhan. Merasa sebagai "manusia pilihan" (the chosen people), mereka yakin Tuhan pasti mengabulkan do'anya, yaitu dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai juru selamat. Ia adalah seorang pemimpin agama sekaligus sebagai penguasa seperti raja. Secara pelahan tapi pasti, keyakinan pada kehadiran juru selamat dari langit tumbuh permanen dalam bentuk kepercayaan keagamaan.
Tapi sebetulnya, perkataan "mesiah" yang padanannya dalam bahasa Arab "al-masih" mengandung arti yang sederhana. Secara harfiah, al-masih artinya "orang yang diusapi". Arti harfiah ini seringkali digunakan dalam bahasa Inggris dengan perkataan "the annointed one" atau wu’ dalam perkataan kaum muslim yang berarti “mengusap kepala”. Dan bukan kebetulan perkataan ini kemudian menjadi kalimat wudhu yang menekankan pada pensucian diri sebelum ritual shalat atau menghadap Tuhan.
Pengusapan kepala ini kalangan kaum Yahudi atau Bani Isra'il merupakan bagian penting dari upacara pengangkatan seseorang menjadi pemimpin agama sekaligus berperan sebagai penguasa atau raja. Kaum Yahudi menggunakan cara pengusapan kepala ini terhadap Nabi Dawud. Karena itulah, sebagai seorang yang berasal dari Bani Isra’il, Nabi Isa putera Maryam yang bergelar “al-Masih” merupakan pengakuan masyarakat kepadanya sebagai seorang pemimpin agama terkemuka.
Jadi gelar al-Masih dalam sistem keagamaan yang berakar dalam kebiasaan kalangan Yahudi, sebetulnya tidak secara khas hanya untuk Nabi Isa saja, tapi juga untuk para pemimpin agama di kalangan kaum Yahudi saat itu.
Tradisi semacam itu kemudian berkembang sedemikian rupa, dan digunakan oleh para penguasa Vatikan dalam memberikan berkah. Atau dalam pengangkatan raja-raja di Eropa, terutama di Inggris, yang seringkali kepalanya diusapi. Ini pertanda bahwa seseorang yang tampil sebagai penguasa mesti mensucikan diri. Sebab tugasnya yang memangku amanat yang agung.
Hari ini, seseorang yang tampil sebagai penguasa begitu mudah mengkhianati amanat tersebut. Pengusapan kepala yang disertai dengan sumpah memangku amanat tak lebih dari sekedar seremoni. Tidak ada perjuangan yang tampak sangat militan dari seorang pemimpin.
Di masa sekarang, perbudakan itu berupa cengkraman kaum pemodal. Mereka bukan saja menindas rakyat dengan memonopoli di segala sektor perekonomian, tapi juga menguasai kebijakan politik dengan menjadikan para elit politik, birokrat dan aparat sebagai ‘budak’ atau orang suruhannya.
Maka, dalam keadaan khianat terhadap amanat rakyat itulah, sebuah bangsa akan merasakan nasib sebagaimana halnya kaum Yahudi ketika masih menjadi budak. Mereka selalu mengharapkan perubahan nasib dan datangnya Juru Selamat dari langit.
Kalau menyambung sejarah penantian bangsa Yahudi yang terasing di Babilonia, pada akhirnya memang mereka dibebaskan dari perbudakan. Tapi itu bukan oleh kehadiran sang Juru Selamat, melainkan oleh sebuah peristiwa.
Peristiwa itu adalah peperangan antara bangsa Persia versus Babilonia, dan kaum Yahudi ikut berjasa mengalahkan penguasa Babilonia. Peristiwa ini juga mengingatkan pada sejarah bangsa Inggris yang memenangi Perang Dunia ke-II, dan membalas jasa kepada kaum Zionis Yahudi dengan membuka jalan kepada mereka untuk membangun negara Israel di atas tanah Palestina..
Bangsa Persia pada masa dinasti Achaemenid juga mengizinkan kaum Yahudi kembali dari Babilonia ke Palestina. Maka tak mengherankan bila kaum kaum Yahudi saat itu menganggap bahwa bangsa Persia sebagai Juru Selamat atau Messiah. Tapi, karena yang memimpin mereka kembali ke Palestina itu adalah seorang nabi yang bernama 'Uzayr, maka banyak orang Yahudi yang percaya bahwa Uzayr inilah Sang Juru selamat sesungguhnya. Bahkan sekelompok orang Yahudi yakin tokoh ini merupakan “anak Allah” (ibn al-Lah). ***
sumber : indonesianreview.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment