Larangan Mencabut Uban Dan Menurut Fakta Ilmiah

July 13, 2015

Uban merupakan rambut yang berubah warna dari hitam menjadi putih dan dianggap sebagai sebagai konsekuensi dari usia tua. Dahulu, uban hanya muncul bagi mereka yang telah lanjut usia, namun kini orang yang masih berusia muda bahkan masih anak-anak ada yang rambutnya sudah beruban. Hal ini disebabkan karena faktor genetis ataupun asupan nutrisi dari makanan yang diperolehnya.

Munculnya uban kerap membuat tidak nyaman sehingga ingin segera mencabut  atau mengganti warnanya dengan warna lain. Tidak sedikit pula yang mencabut uban dengan alasan supaya tampak tetap muda.

Ternyata kegiatan mencabut uban dilarang dalam dunia medis. Menurut laporan terbaru dari Livescience.com, rambut abu-abu yang kemudian memutih ini bisa menjadi tanda yang baik sehat. Studi ini dilakukan oleh peneliti dari Museo Museo Nacional de Ciencias Naturales di Spanyol, Ismael Galvan pada tahun 2012 lalu.

Dalam studinya Ismael Galvan telah menemukan bahwa orang yang memiliki uban justru panjang umur dan sehat.  Uban muncul karena berkurangnya kadar melanin yang merupakan faktor utama yang menentukan warna kulit dan rambut seseorang. Kebanyakan melanin akan membuat kulit dan rambut tubuh menjadi gelap. Jika melanin berkurang, ini pertanda bahwa tubuh sehat dan kulit menjadi normal.

Ismael Galvan menambahkan, mencabut uban berbahaya bagi kepala karena akan merusak  kondisi folikel, akar rambut dan saraf-saraf kepala. Dengan mencabut uban akibatnya jumlah rambut akan menipis lalu uban akan terlihat lebih banyak meskipun jumlahnya sama. Selain itu, kerusakan folikel akan berdampak pada kesehatan selaput kepala.

“Jauh dari tanda terkait penuaan, uban mengindikasikan kondisi yang baik,” ungkap Ismael Galvan

Sudah dilarang sejak 1400 tahun silam
Jika sains modern baru menemukan sekitar tiga tahun lalu terkait bahaya mencabut uban, maka Agama Islam telah melarang umatnya sejak 1400 tahun lalu agar tidak mencabut rambut putih ini. Melalui Nabi Muhammad SAW, Allah memerintahkan agar tidak mencabut uban dengan alasan keimanan. Namun ternyata, tidak melulu soal iman, Allah memiliki alasan medis tersendiri terhadap larangan ini.

Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah, yang lebih dikenal dengan Ibnu Hibban, dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena uban yang dia jaga di dunia.”

Selain itu, Ibnu Hibban membawakan hadits berikut. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat,” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Penelitian yang umumnya dilakukan oleh non muslim kerap kali menjadi penguat terhadap kebenaran Islam. Pengetahuan ini didapatkan Nabi Muhammad pada saat zaman masih sangat jauh dari sains dan teknologi. Dimana perintah dan larangan yang Ia berikan, hanya dilakukan  oleh umatnya sebagai bentuk ketaatan atas keimanan kepada Allah SWT. Namun ternyata, perintah dan larangannya memang mengandung pengetahuan yang tidak dibayangkan sebelumnya. Subhanallah.

sumber : infoyunik.blogspot.com

artikel terkait :
1. Kedahsyatan Uban
2. Hukum Mencabut Uban


Satrio Piningit Dalam Agama Wahyu

July 10, 2015


Di musim Pilkada dan Pemilu Nasional, kalau ada para politisi yang dirancang oleh ahli komunikasinya menisbatkan diri sebagai Satrio Piningit, maka itu adalah kebohongan besar. Mana ada politisi berjuang melawan ketidakadilan yang sangat militan sebagaimana militansi seorang Nabi membebaskan perbudakan.

Satrio Piningit dalam tradisi agama-agama langit biasa disebut sebagai paham “messianisme”. Cendikiawan Nurcholish Madjid pernah mengulas lengkap tentang paham ini. Ia mendefinisikan messianisme merupakan faham menantikan datangnya seorang "messiah" yang diharapkan menyelamatkan umat manusia.

Pembebasan tersebut dilakukan dengan cara berjuang melawan perilaku dan watak seenak perut sendiri sebuah rezim. Karena itu tema paling menonjol dari kehadiran seorang Messias adalah melawan ketidakadilan.

Perkataan "messiah" berasal dari bahasa Ibrani, yaitu "messiah". Kata ini padanan dari perkataan Arab “al-masih”. Dalam sejarah, mesianisme merupakan faham keagamaan yang sangat kuat dan muncul pertama kali di kalangan bangsa Yahudi. Ketika itu kaum Yahudi mengalami perbudakan di Babilonia sekitar tujuh abad lebih sebelum Masehi.

Perbudakan itu terjadi sebagai akibat kekalahan mereka menghadapi serbuan tentera Nebukadnezar yang menghancurkan negeri mereka. Ketika itu wilayah negeri Yahudi meliputi Samaria dan Judea, di Kanaan di Palestina Selatan dan di Yerusalem, tepatnya di Bait al-Maqdis yang menjadi ibukota mereka. Kaum Yahudi kala itu kalah, lalu diboyong ke lembah Mesopotamia untuk kerja paksa.

Dalam keadaan sangat tidak berdaya, kaum Yahudi begitu putus asa, sampai-sampai mereka memohon pembebasan kepada Tuhan. Merasa sebagai "manusia pilihan" (the chosen people), mereka yakin Tuhan pasti mengabulkan do'anya, yaitu dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai juru selamat. Ia adalah seorang pemimpin agama sekaligus sebagai penguasa seperti raja. Secara pelahan tapi pasti, keyakinan pada kehadiran juru selamat dari langit  tumbuh permanen dalam bentuk kepercayaan keagamaan.

Tapi sebetulnya, perkataan "mesiah" yang padanannya dalam bahasa Arab "al-masih" mengandung arti yang sederhana. Secara harfiah, al-masih artinya "orang yang diusapi". Arti harfiah ini seringkali digunakan dalam bahasa Inggris dengan perkataan "the annointed one" atau wu’ dalam perkataan kaum muslim yang berarti “mengusap kepala”. Dan bukan kebetulan perkataan ini kemudian menjadi kalimat wudhu yang menekankan pada pensucian diri sebelum ritual shalat atau menghadap Tuhan.

Pengusapan kepala ini kalangan kaum Yahudi atau Bani Isra'il merupakan bagian penting dari upacara pengangkatan seseorang menjadi pemimpin agama sekaligus berperan sebagai penguasa atau raja. Kaum Yahudi menggunakan cara pengusapan kepala ini terhadap Nabi Dawud. Karena itulah, sebagai seorang yang berasal dari Bani Isra’il, Nabi Isa putera Maryam yang bergelar “al-Masih” merupakan pengakuan masyarakat kepadanya sebagai seorang pemimpin agama terkemuka.

Jadi gelar al-Masih dalam sistem keagamaan yang berakar dalam kebiasaan kalangan Yahudi, sebetulnya tidak secara khas hanya untuk Nabi Isa saja, tapi juga untuk para pemimpin agama di kalangan kaum Yahudi saat itu.

Tradisi semacam itu kemudian berkembang sedemikian rupa, dan digunakan oleh para penguasa Vatikan dalam memberikan berkah. Atau dalam pengangkatan raja-raja di Eropa, terutama di Inggris, yang seringkali kepalanya diusapi. Ini pertanda bahwa seseorang yang tampil sebagai penguasa mesti mensucikan diri. Sebab tugasnya yang memangku amanat yang agung.

Hari ini, seseorang yang tampil sebagai penguasa begitu mudah mengkhianati amanat tersebut. Pengusapan kepala yang disertai dengan sumpah memangku amanat tak lebih dari sekedar seremoni. Tidak ada perjuangan yang tampak sangat militan dari seorang pemimpin.

Di masa sekarang, perbudakan itu berupa cengkraman kaum pemodal. Mereka bukan saja menindas rakyat dengan memonopoli di segala sektor perekonomian, tapi juga menguasai kebijakan politik dengan menjadikan para elit politik, birokrat dan aparat sebagai ‘budak’ atau orang suruhannya.

Maka, dalam keadaan khianat terhadap amanat rakyat itulah, sebuah bangsa akan merasakan nasib sebagaimana halnya kaum Yahudi ketika masih menjadi budak. Mereka selalu mengharapkan perubahan nasib dan datangnya Juru Selamat dari langit.

Kalau menyambung sejarah penantian bangsa Yahudi yang terasing di Babilonia, pada akhirnya memang mereka dibebaskan dari perbudakan. Tapi itu bukan oleh kehadiran sang Juru Selamat,  melainkan oleh sebuah peristiwa.

Peristiwa itu adalah peperangan antara bangsa Persia versus Babilonia, dan kaum Yahudi ikut berjasa mengalahkan penguasa Babilonia. Peristiwa ini juga mengingatkan pada sejarah bangsa Inggris yang memenangi Perang Dunia ke-II, dan membalas jasa kepada kaum Zionis Yahudi dengan membuka jalan kepada mereka untuk membangun negara Israel di atas tanah Palestina..

Bangsa Persia pada masa dinasti Achaemenid juga mengizinkan kaum Yahudi kembali dari Babilonia ke Palestina. Maka tak mengherankan bila kaum kaum Yahudi saat itu menganggap bahwa bangsa Persia sebagai Juru Selamat atau Messiah. Tapi, karena yang memimpin mereka kembali ke Palestina itu adalah seorang nabi yang bernama 'Uzayr, maka banyak orang Yahudi yang percaya bahwa Uzayr inilah Sang Juru selamat sesungguhnya. Bahkan sekelompok orang Yahudi yakin tokoh ini merupakan “anak Allah” (ibn al-Lah). ***

sumber : indonesianreview.com