Bersyukur Sepenuh Hati Tampa Syarat

May 29, 2014

Cinta tanpa syarat. Begitulah harapan para pecinta untuk dapat mencintai sosok yang ia. Harapan itu sebagai bukti bahwa dia benar-benar mencintai sepenuh hati, apa adanya, tanpa syarat barang satu pun.

Jika cinta saja bisa tanpa syarat, sepatutnya, sebagai Muslim kita juga patut menjaga syukur tanpa syarat kepada Sang Pemberi Nikmat.

Allah SWT dalam beberapa ayat  Alquran banyak mengajak para hamba-Nya untuk mudah bersyukur. Bukan karena Dia membutuhkan rasa terimakasih dari manusia.

Bersyukur ialah sebuah kebutuhan ruhani, baik diucapkan melalui lisan dengan ‘Alhamdulillah’, juga berupa perbuatan dengan memberdayakan apa yang kita dapatkan untuk kemaslahatan manusia.

Bersyukur juga sebagai bukti kelemahan bahwa kita sama sekali tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi diri sendiri, terlebih kepada orang lain.

Karena ketidakmampuan itulah, manusia dianjurkan untuk mensyukuri apa yang ia peroleh, baik itu rezeki, kesehatan, ketentraman hidup, kebersamaan bersama orang-orang terkasih, dan masih banyak lagi nikmat-nikmat nan terhingga yang tak kuasa menyebutkannya.

Itu semua Allah limpahkan kepada manusia karena Allah bersifat Wahhab. Wahhab berarti Maha Memberi segala sesuatu baik yang dipinta ataupun tidak dipinta hamba-Nya.

Imam Ghazali menyebutkan bahwa pemberian Allah bersifat terus-menerus, tiada henti, berkesinambungan, dunia maupun akhirat, kepada siapa pun. Terlepas si hamba mensyukurinya atau tidak, karena memang pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa pun dari hamba-Nya. Pemberi tanpa pamrih.

“... jika engkau bersyukur, maka akan Kutambah nikmat-Ku untukmu. Namun, jika kamu kufur (enggan bersyukur), sungguh adzab-Ku amat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Dalam perjalanan hidup, manusia tergolong menjadi dua: golongan syukur dan golongan kufur. Oleh karenanya, tercermin dari surah di atas bahwa janji Allah terlimpah untuk dua golongan manusia, baik yang syukur maupun yang kufur. Jika kita mensyukuri nikmat Allah apa pun bentuknya, seberapa pun banyaknya, maka nikmat itu akan bertambah.

Sebagai manusia biasa, terkadang kita alpa. Kita hanya sibuk mensyukuri pemberian-Nya yang enak dan tampak. Namun, lupa untuk bersyukur saat memeroleh musibah. Saat musibah datang, yang meluncur dalam doa-doa ialah keluhan dan kesedihan hingga penantian kapan musibah itu hilang.

Padahal, dalam terhimpit musibah sekalipun kita dianjurkan untuk tetap bersyukur, sebagai bukti bahwa itu adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah.

Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan, “Wahai malaikat Jibril, datanglah kepada hamba-Ku dan kirimkanlah ia sebuah musibah, karena Aku rindu akan rintihannya.” (HR Muslim).

Hadis ini mengisyaratkan bahwa diuji dengan masalah ialah bukti bahwa Allah merindu rintihan dari para hamba-Nya. Tak inginkah kita dirindu?

Akhirnya, hakikat bersyukur tanpa syarat ialah kita tidak perlu menunggu datangnya nikmat  lantas bersyukur. Tapi, bersyukur sebenarnya ialah senantiasa menjaga ungkapan terima kasih pada Sang Maha Kasih atas segala nikmat yang telah, sedang dan akan kita dapatkan. Wallahu a’lam.

Oleh: Ina Salma Febriany
sumber : republika.co.id

Yakinlah, dan Pejamkan Mata oleh Salim A. Fillah

May 23, 2014

 iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban

Saya tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdoa.

Di padang Badr yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah berhadapan. Tak imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh ‘aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqan; hari terpisahnya kebenaran dan kebathilan. Ini hari penentuan akankah keberwujudan mereka berlanjut.

Doa itulah yang mencenungkan saya. “Ya Allah”, lirihnya dengan mata kaca, “Jika Kau biarkan pasukan ini binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Allah, kecuali jika Kau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetar bahu itu oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.

Andai boleh lancang, saya menyebutnya doa yang mengancam. Dan Abu Bakr, lelaki dengan iman tanpa retak itu punya kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan perasaan saya. “Sudahlah Ya Rasulallah”, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang Sang Nabi, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janjiNya padamu!”

Doa itu telah menerbitkan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa begitu bunyinya? Tetapi kemudian, saya membaca lagi dengan sama takjubnya pinta Ibrahim, kekasih Allah itu. “Tunjukkan padaku duhai Rabbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”, begitu katanya. Ah ya.. Saya menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu iman. Itu iman yang gelisah.

Entah mengapa, para peyakin sejati justru selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin justru, itu untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran. Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghunjam dari kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.

Kita tahu, di Badr hari itu, Abu Jahl juga berdoa. Dengan kuda perkasanya, dengan mata menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke langit dia berseru, “Ya Allah, jika yang dibawa Muhammad memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dari langit dengan batu!” Berbeda dari Sang Nabi, kalimat doanya begitu bulat, utuh, dan pejal. Tak menyisakan sedikitpun ruang untuk bertanya. Dan dia lebih rela binasa daripada mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.

Itukah keyakinan yang sempurna? Bukan. Itu justru kenaïfan. Naif sekali.

Mari bedakan kedua hal ini. Yakin dan naïf. Bahwa dua manusia yang dijamin sebagai teladan terbaik oleh Al Quran memiliki keyakinan yang menghunjam dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi. Sementara kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada PenciptaNya. Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di pihaknya. Atau seperti Khawarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya muslim lain tanpa henti. Khawarij yang selalu berteriak, “Hukum itu hanya milik Allah!”, sekedar untuk menghalangi kaum muslimin berdamai lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar. Mencita-citakan tegaknya Din, memisahkan diri di Harura dari kumpulan besar muslimin, dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat. Itu naïf.

Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya satu saat dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa. Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata. Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.

Dan dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.

Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan. Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat. Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.

Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya, memejamkan mata.

Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintahNya. Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh ‘aqidah.

Para pengemban da’wah, jika ada perintahNya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan padaNya jua kita akan pulang..

sumber: pkspiyungan

Mau Jadi Bagian Admin Blog Alumni ?

May 21, 2014

# alhamdulillah beres oge permak blog ieu, anu ka sekian kali na. tampilan sekarang admin mencoba menerapkan lebih mirip dengan tampilan blog portal citizene populer di negara praha.

# Ternyata hasilnya sangat bagus kaningali na oge leuwih campernik dan elegan. Mudah-mudahan perubahan tampilan ini memompa semangat kembali admin untuk mengelola blog alumni ini.

# Blog yang pageview nya sangat bombastis di bandingkan dengan blog blog lain yang saya miliki. Walaupun jumlah artikelnya masih 90 artikel.

# Dan saya sebagai admin sampai saat ini, mengajak saudara en saudari jika ada yang berkenan dan mempunyai semangat joeang ( hehe )  untuk mendapingi saya menjadi admin, atau istilahnya berbagi admin.

# Silahkan kirim alamat google imel saudara saudari enke ku saya di invite.

Perjuangan tidak cukup dengan air ludah saja, karena Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

Potret Para Mualaf

Vanesaa Vroon-Najem berhasil memenuhi keinginannya. Sebuah pameran yang ia rancang akhirnya terwujud. Pameran di Museum Amsterdam, Belanda, itu menggambarkan tentang meningkatnya jumlah mualaf dan kehidupan mereka.

Pameran sudah berjalan mulai 11 April lalu hingga 27 Juli 2014 mendatang. Pameran bertema Converted. Becoming Muslim – being Muslim itu merujuk pada penelitian Najem untuk program PhD-nya. Ia seorang antropolog yang memeluk Islam pada 1996.

Sejak pertama melakukan penelitian, ia ingin mengomunikasikannya kepada banyak orang. ‘’Saya juga ingin menyampaikan informasi lebih baik mengenai perkembangan Islam di Belanda,’’ kata Najem seperti dikutip laman berita Onislam, Ahad (18/5) lalu.

Jumlah orang yang memutuskan menjadi mualaf telah melebihi 15 ribu orang. Perempuan yang sudah bekerja di Museum Amsterdam sejak 1999 itu juga menggandeng mualaf perempuan lainnya, Saskia Aukema. Ia seorang fotografer.

Najem mengakui, proposal pameran yang diajukan ke museum diterima dengan baik karena didukung foto-foto bagus Aukema. Dan sebenarnya, Aukema pun sudah berencana untuk memamerkan foto-foto tentang mualaf.

Menurut Najem, pameran seperti ini dapat menunjukkan wajah Muslim yang damai. Bukan kelompok-kelompok radikal yang biasa ditampilkan di media. ‘’Banyak orang menggunakan istilah ‘kami’ dan mereka saat berbicara tentang Islam,’’ katanya.

Namun, Najem meyakini melalui pameran prasangka terhadap Islam dan Muslim bisa perlahan memudar. Menurut Aukema, ia menyiapkan proyek pameran ini selama enam bulan. Selain itu, Najem dan Aukema juga akan menerbitkan buku yang ditulis bersama berjudul Converted.

Menurut Noureddine Steenvoorden, seorang mualaf, pameran di Museum Amsterdam bertujuan memperkaya pengetahuan warga Belanda mengenai perkembangan sosial. Maksudnya, semakin banyak orang yang berpindah agama ke Islam.

Tak hanya itu, ia berharap pula terhapusnya prasangka buruk warga terhadap Muslim dan para mualaf. Ia membantu memasang pengumuman terkait pameran. Ia juga mengunjungi komunitas Muslim agar tertarik pergi ke Museum Amsterdam.

Ia mengajak Aukema ke masjid-masjid untuk memotret kegiatan komunitas Muslim dan mualaf. ‘’Dia ingin memberikan pandangan yang tak bias terhadap mualaf dan bagaimana mereka menunaikan ibadah sehari-hari,’’ kata Steenvoorden.

Saskia Aukema mengungkapkan pengalamannya saat bertemu dengan para mualaf dan kemudian memotretnya. Menurut dia, upaya meningkatkan hubungan anak-anak muda mualaf dengan orang tuanya menjadi topik utama bagi mereka.

Aukema mencoba menangkap fenomena ini melalui lensa kameranya. Salah satunya, ujar dia, seorang perempuan mualaf berbincang bersama ibunya dengan penuh kasih sayang.

sumber : republika.co.id