Cara Jitu Menafsirkan Mimpi

March 15, 2014

Diriwayatkan dari Anas bin Malik
RA, Rasulullah pernah bersabda,
“Mimpi yang baik dari orang
saleh adalah bagian dari 46
unsur kenabian.” (HR Ibnu Majah).

power-of-the-dream

Mimpi, dalam Islam tak sakadar bunga tidur. Bagi orang-orang tertentu yang memiliki derajat keimanan yang tinggi, mimpi bisa memiliki makna yang beragam dan mendalam. Tradisi penafsiran mimpi sendiri, sudah berlaku sejak peradaban manusia berada. Nabi Yusuf, misalnya, dikenal ahli dan mampu menakwil mimpi.

Dalam tradisi intelektual ulama klasik,aktivitas menafsirkan mimpi juga banyak mendapat perhatian. Banyak tokoh yang dikenal mahir mengartikan mimpi dan menghasilkan karya monumental, salah satunya adalah Ibnu Sirin, seorang tokoh yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Sirin al-Anshari. Dalam kitabnya berjudul  Ta’bir Ar-Ru’ya, ia memaparkan hal ihwal yang berkenaan dengan mimpi.

Selain kitab itu, sebenarnya ada satu lagi kitab yang disandarkan kepemilikannya terhadap Ibnu Sirin, yaitu Al-Muntakhab al-Kalam fi Tafsir al-Ahlam. Kitab yang pertama, oleh mayoritas ulama, valid diakui buah karyanya. Ibnu Khaldun, misalnya,menegaskan hal itu dalam Muqaddimah. Sosiolog Muslim tersebut menyebut Ta’bir murni karya Ibnu Sirin. Lain halnya dengan kitab yang kedua, Al-Muntakhab, Az Zarkali meragukan kebenaran penyandaran kitab tersebut atas Ibnu Sirin.

Ta’bir Ar Ru’ya terdiri atas25 bab utama. Ibnu Sirin mengawali kitabnya tersebut dengan meletakkan prinsip dan kaidah dalam penafsiran dan pembacaan mimpi. Menurut dia, penafsiran mimpi bukan aktivitas sembarangan. Mimpi, dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis antara lain nukilan Ibnu Majah adalah sebagian kecil dari 46 instrumen kenabian. Karena itu, para penakwil mimpi setidaknya harus menguasai Alquran dan hafal hadis-hadis Nabi, paham tentang karakter dan pola hidup manusia, dan mengetahui kaidah-kaidah penakwilan. Bekal seperti ini, dalam pandangan tokoh kelahiran Basra tersebut, penting dimiliki oleh penakwil mimpi. Mimpi muncul dengan latar belakang yang berbeda, baik waktu maupun tempatnya.Pembacaan terhadap mimpi pun kadang harus merujuk pada Alquran ataupun hadis Nabi.

Dicontohkannya, seperti tafsir telur dalam sebuah mimpi bisa dimaknai dengan kejadian ataupun peristiwa dalam kehidupan nyata orang yang bersangkutan dan berkaitan dengan perempuan. Penafsiran itu merujuk pada ayat ke-49 dari surah ash-Shaaffaat yang mengibaratkan kesucian bidadari-bidadari dengan telur burung unta yang tersimpan dengan baik. Adakalanya pula, sebuah mimpi ditafsirkan dengan lawan dari sebuah fakta. Misalnya, kondisi tertawa dalam mimpi, takwilnya bisa berarti akan menangis di kehidupan nyata. Begitu juga sebaliknya. “Bila menangis di mimpi, itu maknanya kita akan tertawa riang,” tulisnya.

Oleh Nashih Nashrullah – sumber: republika.co.id

Umar bin Khaththab : Kirimkan salamku kepada Utbah, katakan kepadanya, takutlah kepada Allah

March 13, 2014

umar-bin-khattab-_130626105615-607

Pernah suatu ketika,  Gubernur Azerbaijan Utbah bin Farqad mengirimkan hadiah manisan untuk Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Manisan ini dibawa oleh utusan Gubernur. Setelah dicicipi, Umar menyatakan rasanya enak.

Lalu, ia bertanya,’’Apakah semua rakyatmu di sana menikmati makanan yang sama seperti ini?'' Utusan itu menjawab, “Tidak. Itu adalah makanan orang-orang tertentu.” Mendengar hal tersebut, Umar pun langsung menutup kembali wadah makanan itu.

Umar memerintahkan utusan tersebut untuk kembali ke Azerbaijan dan menegaskan, ’’Kirimkan salamku kepada Utbah, katakan kepadanya, takutlah kepada Allah, kenyangkanlah rakyatmu dengan makanan yang membuatmu kenyang.”

Demikianlah cuplikan ketegasan dan kepekaan Umar saat mengemban amanat sebagai pemimpin kaum Muslimin. Betapa responsif dirinya melihat sesuatu yang tidak pantas di matanya. Padahal bagi kebanyakan orang, hal itu sangat biasa atau lumrah adanya.

Rasa empati menantu Rasulullah itu luar biasa. Sesungguhnya Umar telah menyisakan warisan keteladanan yang sangat berharga bagi siapapun yang didaulat sebagai pemimpin.

Sebagai pimpinan tertinggi, ia bersama para gubernurnya berhasil memelopori kesalihan struktural dan fungsional dalam masyarakat. Tidak ada yang memungkiri, masa lalu Umar sebelum memperoleh hidayah sangat kelam.

Namun setelah memeluk Islam, ia berubah total. Mulai saat itu, Umar selalu mendukung perjuangan Rasulullah Semua itu demi menebus kejahiliyahan pada masa lalu. Begitu pula setelah menjadi Amirul Mukminin, semakin besar pula takwanya kepada Sang Pencipta.

Umar menetapkan aturan ketat bagi para gubernurnya. Mereka harus hidup sederhana, jauh dari kemewahan. Iman dan akhlak harus jadi penopang kepemimpinan. Bukan sekadar sensasi atau basa-basi namun dalam bentuk aksi nyata.

Apa yang dicontohkan Umar ribuan tahun lalu itu, hari ini seperti perkara tabu di kalangan pemangku jabatan di negeri kita. Para pejabat dan pemimpin kita seolah hidup untuk diri, keluarganya, atau golongannya saja.

Mereka tidak peduli, rakyat bawah sudah makan enak atau tidak. Sudah tidur nyenyak atau tidak. Betapa pekanya hati Khalifah Umar itu sehingga ia menahan diri meski pada makanan yang halal. Apalagi untuk sesuatu yang haram.

Banyak pejabat hari ini tidak kenal dengan perkara halal, haram, apalagi syubhat. Semua fasilitas dan kemewahan hidup mereka anggap sebagai anugerah yang harus dinikmati. Namun yakinilah, kisah keteladanan Umar  di atas bukan mustahil nyata kembali.

Keteladanan itu memang harus dipelopori terutama oleh para atasan. Inilah cara yang paling efektif untuk mengubah keadaan rakyat menjadi lebih baik.

Manusia tergantung kebiasaan pemimpinnya. Tidak bisa dengan pencitraan, sensasi, apalagi berpura-pura. Keteladaan itu harus ikhlas, apa adanya, dan lahir dari hati terdalam.

sumber : republika.co.id

Islam Agama Terbesar Kedua, Di Rusia

March 8, 2014

BENDERA ISLAM

Islam adalah agama kedua yang paling banyak dianut di Rusia setelah Kristen Ortodoks. Jumlahnya sekitar 21-28 juta penduduk atau 15-20 persen dari sekitar 142 juta penduduk. Islam dianggap sebagai salah satu agama tradisional yang merupakan warisan sejarah Rusia.

Menurut sebuah jajak pendapat oleh Pusat Riset Opini Publik Rusia, enam persen responden menganggap diri mereka Muslim. Ada lebih dari 5.000 organisasi Muslim yang terdaftar. Kelompok ini terdiri dari Sunni, Syiah dan sufi.

Muslim di Rusia kini memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan masa komunis dulu.  Untuk pertama kalinya dalam sejarah Rusia, pemimpin Rusia (Vladimir Putin) memasukkan menteri Muslim dalam kabinetnya dan mengakui eksistensi Muslim Rusia.

Suku Dagestani diketahui sebagai kaum Muslim pertama di Rusia. Mereka memeluk Islam setelah penaklukan oleh Arab pada abad ke-8. Negara bagian Muslim pertama di Rusia adalah Volga Bulgaria (922 M). Orang Tatar mewarisi agama dari negara ini. Kemudian sebagaian besar orang Eropa dan Turki Kaukasia mengikuti memeluk Islam.

Penaklukan Rusia atas Kaukasus Utara pada abad ke-18 dan 19 membawa Muslim dari kawasan Dagestan, Chechen, Circassia, Ingush dan sekitarnya ke dalam negara Rusia. Sebagian besar kaum Muslim di negara federasi ini menganut Islam Sunni.

Di beberapa kawasan, terutama di Dagestan dan Chechnya, ada tradisi sufisme yang diwakili oleh tarekat Naqsyabandi dan Shazili dipimpin oleh Syekh Said Afandi al-Chirkawi ad-Daghestani.

Alquran pertama yang dicetak  diterbitkan di Kazan pada 1801 M. Pada era 1990-an, jumlah percetakan risalah Islam meningkat. Surat kabar dan majalah Islam dalam bahasa Rusia diterbitkan.

Penduduk Muslim biasanya bermukim di antara Laut Hitam dan Laut Kaspia, yakni masyarakat Avar, Adyghe, Balkar, Nogai, Chechnya, Circassian, Ingush, Kabardin, Karachay dan Dagestan. Di Volga Basin tengah juga terdapat penduduk Tatar dan Bashkir. Banyak Muslim juga yang tinggal di Perm Krai dan Ulyanovsk, Samara, Nizhny Novgorod, Moscow, Tyumen, dan Leningrad Oblast (kebanyakannya kaum Tatar).

Secara resmi jumlah masjid di Rusia mencapai 4.750 masjid. Namun jumlah sebenarnya jauh lebih besar dan terus bertambah. Di Dagestan saja terdapat antara 1.600 - 3.000 masjid. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah masjid di Tatarstan telah melebihi 1.000.

Di ibu kota Rusia dengan jumlah pemeluk Islam yang melebihi satu juta orang, terdapat 20 komunitas Muslim dan lima masjid. Menurut pakar data Rusia, sedikitnya terdapat 7.000 masjid di Rusia.

Masjid Marcani adalah masjid tertua yang dibangun di Kazan. Masjid ini dibangun pada 1766-1770 M saat Catherine Agung berkuasa dengan donasi dari masyarakat. Masjid Marcani menjadi satu-satunya masjid yang lolos dari penutupan ketika periode Uni Soviet. Arsiteknya, Vasily Kaftyrev menggabungkan gaya barok dan gaya arsitektur abad pertengahan. Masjid dua tingkat ini berlokasi di tepi Danau Qaban.

Sumber : republika.co.id

TUNGKUL KA JUKUT TANGGAH KA SADAPAN

March 4, 2014

TUNGKUL hartina sirah dielukeun sarta beungeut diarahkeun ka handap. Naon anu di tingali téh? Nyaéta jukut. Jukut sok dipapandékeun sabagé jelema leutik, atawa rahayat. Tanggah ngarupakeun lawan tina tungkul, nyaéta nyanghareupkeun beungeut ka luhur.

Ningali ka luhur. Naon anu kudu ditingali di luhur téh? Taya lian nyaéta sadapan. Sadapan nyaéta tempat ngala lahang kawung atawa kalapa nu ditandéan ku lodong. Lahang lamun ditaheur, dipanaskeun terus di guis ku pangarih bakal ngahasilkeun gula. Gula rasana amis. Jadi lantaran kitu sadapan sok dipapandékeun kana rejeki, kauntungan atawa jabatan pikeun ngudag kasenangan hirup. muslimah-tunduk

Pikeun pamingpin disagigireun ti ngudag kasenangan, nyaéta ku ningali sadapan téa, ogé kudu ningali ka handap. Ningali ka jukut, bisi aya hama anu matak ngaruksak jukut. Sabangsaning bereng, wereng, hileud atawa simeut. Teu saeutik rahayat nu sok di hihileudan, disingsieunan, diperes ku ulon-ulon nu jadi pamingpin.

Nu matak rahayatna kudu diroris, diaping sareng dijaring, ulah antepan boh bisi aya kabutuhna. Sareng ulah mercayakeun teuing badéga. Lantaran kiwari mah loba nu carmuk, cari muka. Atawa ABS, asal bapa senang. Anu dilaporkeun ngan ukur anu pikasenangeun wungkul. Ari anu pikakuciwaeun mah tara ieuh dilaporkeun. Malah rahayat sok dijarieun sawah, tah ku badega téh. Dipaké céngcéléngan pikeun nyumponan kabutuh pribadina.

Hiji pamingpin kudu inget yén rahayat téh anu ngadeudeul kana ayana pamingpin. Moal aya pamingpin mun teu aya rahayat. Jadi lebah dieu mah, pamingpin téh kudu bisa merenahkeun dirina. Kudu saimbang antara ngudag sadapan jeung nyébor jukut ku cai atawa di gemuk.

Conto pamingpin anu boga laku lampah hadé kitu di urang baheula, nyaéta KH Agus Salim. KH Agus Salim, mangrupakeun ulama moyan, pinter. Bisa biantara, cumarita. Basa anu dikawasana salianti basa daérahna nyaéta basa Minang jeung basa Indonésia, ogé capétang dina sababaraha basa deungeun alias basa asing kalawan paséh. Basa Arab, Walanda, Prancis, Jerman, jeung basa Inggris. Tapi anjeuna henteu gumedé, hirupna basajan. Mun ceuk basa kiwari mah merakyat, meureun. Anjeuna ku Présidén Soekarno diangkat sabagé mentri luar nagri. Hiji kamantrian anu henteu cicing baé di jero nagara, tapi kudu ngacacacng ka luar nagri. Anggoanana teu béda
jeung pakéan rahayat biasa. Anjeuna henteu ngarasa risih, gimir, leutik burih
dina babarengan jeung diplomat urang asing waktu sawala. Anjeuna teu lingsem
nganggo anggoan tatambalan.

Pamadeganana mah yén kahormatan diri téh lain ku gulubur jeung hurung hérangna pakéan luar, tapi uteuk. Hal ieu saluyu sareng Khalifah Umar bin Khotob anu sering nganggo anggoan nu dijarumat. Aranjeuna ngalakukeun kitu téh lantaran jabatan ngarupakeun amanah, cenah. Amanah ti rahayat, anu kudu di
mumulé. Amanah kudu pertanggung jawabkeun lain waé ka rahayat, tapi ogé ka
Gusti Alloh. Janten KH. Agus Salim mah ngarupakeun hiji pamingpin nu sok tungkul ka jukut sarta tanggah ka sadapan.

Henteu katungkulkeun ku sadapan wungkul. Tapi sok inget ka rahayat anu waktu harita kakara lésot tina ranggeuman penjajah Walanda jeung Jepang. Waktu harita rahayat di urang loba anu mariskin.

Dina ngemban amanahna, anjeuna kantos
kacaturkeun, nalika anjeuna diutus ku Présidén Sukarno pikeun ngaluuhan hiji gempungan anu diayakeun di Solo. Anjeuna angkat ka Solo nganggo SS (KA). Nu mangku hajat di Solo, ngutus utusan pikeun mapag anjeuna ka Stasion. Nu marapagkeun kabéh naringalina kana daréksi (gerbong KA) kélas hiji, kelas éksékutif
meureun mun ayeuna mah, nyaéta daréksi anu matak pikagenaheun.

Sanggeusna daréksi kelas hiji kosong, nu ngajemput pating olohok. Margi KH Agus Salim teu katingal kaluar. Nuju caralangak ceuleungeuk milarian anjeuna, tah nu mapag téh, na atuh jebul téh KH Agus Salim norojol kaluar tina daréksi kelas tilu. Angkat ngagandeuang, teu ngarasa haringhang jeung honcéwang, ngajingjing tas kulit
kumal. Ku pamapag diburu, bari pok nyarita, :”Naha juragan bet calik di daréksi kelas tilu?” Bet walerna téh matak pikahélokan, “Kuring maké daréksi kelas tilu, lantaran euweuh kelas opat,” cenah.

KUMAHA ari pamingpin urang kiwari? Langka, mun teu disebut moal aya téh. Mani jauh tanah ka langit, upama ku urang dibandingkeun jeung akhlakna KH. Agus Salim. Éta kamari urang ngadéngé mantri-mantri anyar dibagi mobil méwah. Mobil anu hargana 1,3 milyar rupiah. Tapi koméntarana matak pikasebeleun. Aya nu nyebutkeun, teu kaasup méwah atuh mobil kieu mah! Ah wajar-wajar wé sakieu mah!

Aya oge nu nyebutkeun murah lantaran gampang miarana, béngkél geus pabalatak. Jeung aya anu nyebutkeun leuwih heurin tibatan mobil nu kamari, cenah. Teu euleum-euleum nyararitana téh. Teu ngaragap haté rahayat pisan. Padahal lamun duit anu dipaké meuli mobil éta, dibandingkeun jeung upah buruh atawa pangsiunan ganjorna gé, leuwih ti lungkawing. Lain matak pateuh deui mun suku tijalakeuh téh, tapi matak pejah jeung burakrakan awak. Jajauheun atuh kana mikirkeun nasib rahayat
anu katalangsara mah.

Sakola raroboh … lantaran kelas wangunan teu nyukupan akibat kurang waragad, nepikeun ka barudak dialajarna téh dihandapeun ténda jeung panyawéran, aladiprek teu maké bangku, atuh dina ngolomentaran ulah pikanyerieun.

Teungteuingeun. Para pamingpin di urang mah, bet kawas nyai ronggéng, ari tungkul bari imut, ari tanggah lelenggakan. Tungkul ngan ukur ngitut, supaya kataji, boga perhatian, padahal aya nu dianjing cai. Aya anu dihéroan. Nepikeun ka jalma bodo parogot. Kairut ku imutna.

Nepika werat méré panyombo kanu donto, nyumbang ka si lénjang. Atuh dina tanggahna, ngadon lelenggakan, nyeungseurikeun talajakna jukut anu teu baha, teu walakaya. Bungah, ningali rahayat nu satia tur satuhu, sanajan bari kurat karét. Wallohu a’lam.*

sumber: majalah binadakwah

Masuk Surga Bukan Karena Amal

March 3, 2014

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ

    “Tepatlah kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” Para shahabat bertanya: “Termasuk juga anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”

Untitled-1

Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:

    Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal no. 6463, 6464, 6467.
    Shahih Muslim kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi ‘amalihi no. 7289-7302.
    Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab at-tawaqqi ‘alal-’amal no. 4201.
    Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 8233, 9830, 10011, 14944; bab hadits ‘Aisyah no. 24985, 26386

Matan Hadits

Dalam riwayat al-Bukhari no. 6463, tuntunan Nabi saw terkait hadits di atas ada enam, yaitu:

لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا

“Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian.” Mereka bertanya: “Tidak pula anda wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai.”

Dalam riwayat al-Bukhari yang satunya lagi, no. 6464, Nabi saw di akhir pesannya menyatakan:

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling sering diamalkan walaupun sedikit.

Sementara itu, dalam riwayat Muslim no. 7299, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ

Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah swt.

Syarah Mufradat

Saddidu, asal katanya sadad; ketepatan, sesuatu yang tepat. Maknanya menurut Ibn Hajar, shawab; benar. Artinya, beramallah dengan tepat, benar, mengikuti sunnah dan penuh keikhlasan.

Qaribu yang bermakna ‘mendekatlah’ maknanya ada dua; pertama, jangan menjauhi amal seluruhnya ketika tidak mampu, dan kedua, jangan berlebihan dalam beramal sehingga merasa kelelahan dan bosan. Itu berarti ambillah pertengahan dalam beramal. Ketika malas tiba, bertahan dengan tidak meninggalkan amal seluruhnya, beramallah sedekat-dekatnya, tidak mampu 100% (sadad) beramallah 90% (qarib), dan ketika semangat tiba, beramal dengan tidak berlebihan karena akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.

Ughdu artinya berpergianlah di waktu pagi, ruhu artinya berpergianlah di waktu sore, dan ad-duljah artinya berpergian di waktu malam. Kata ad-duljah disertai dengan kata syai` (syai` minad-duljah; sedikit/sesaat di waktu malam) karena memang berpergian di waktu malam cukup sulit. Menurut Ibn Hajar, ini seolah-olah isyarat agar shaum di sepanjang hari dari sejak pagi sampai sore, dan shalat tahajjud di sebagian malam. Walaupun, menurutnya, bisa juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya. Ibadah dalam hal ini diibaratkan dengan berpergian/perjalanan karena memang seorang ‘abid (yang beribadah) itu ibarat seseorang yang sedang berpergian dan menempuh perjalanan menuju surga.

Al-qashda maknanya pertengahan. Dijelaskan dalam riwayat lain sebagai amal yang rutin dikerjakan (dawam) walaupun sedikit-sedikit.

Taghammada diambil dari kata ghimd yang berarti sarung pedang. Taghammada berarti menyarungkan, atau dengan kata lain menutup (satr). Jika dilekatkan dengan kata rahmat dan ampunan, berarti menganugerahkan sepenuhnya (semua penjelasan dalam syarah mufradat ini disadur dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).

Syarah Ijmali

Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah swt berikut:

“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan”. (QS. An-Nahl [16] : 32)

Dan diserukan kepada mereka: “Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7] : 43. Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf [43] : 72)

Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam’ (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan al-Qur`an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi saw menentang al-Qur`an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah swt. Jadi, dengan rahmat Allah swt, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan masuk surga tingkatan yang mananya itu ditentukan berdasarkan amal.

Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah swt juga amal-amal kita. Demikian juga, penentuan tingkatan yang mananya di dalam surga itu tergantung rahmat Allah swt dan amal-amal kita.

Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf ‘ba’ pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah swt. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah swt saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah swt.

Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah swt. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah swt, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah swt (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah ‘alal-’amal).

Sementara itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah (tulisan ringkas) Imam Ibn Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang oleh Syaikh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami’ur-Rasa`il, dalam risalah no. 9 berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi am yanqudluhu qauluhu saw la yadkhulu ahadun al-jannah bi ‘amalihi; risalah tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya, ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi saw seseorang tidak masuk surga dengan sebab amalnya. Hal pertama yang ditekankan oleh Ibn Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi saw yang shahih bertentangan dengan al-Qur`an. Selanjutnya, Ibn Taimiyyah juga menyatakan, huruf ‘ba’ yang ada dalam hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya, menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di bumi (QS. Al-Baqarah [2] : 164 dan QS. Al-A’raf [7] : 57). Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah swt.

Hadits yang disampaikan Nabi saw di atas, menurut Ibn Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu’awadlah; timbal balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan pertama, Allah swt sama sekali tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal Allah swt tidak ‘peduli’, Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa (Lihat QS. Al-Baqarah [2] : 286, Fushshilat [41] : 46, an-Naml [27] : 40).

Kedua, amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah swt juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah swt.

Ketiga, amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu Allah swt sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.

Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan Allah swt kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu berkat nikmat-nikmat Allah swt tersebut.

Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah swt dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga (Lihat QS. Az-Zumar [39] : 33-35, al-Ahqaf [46] : 16). Inilah di antara maksud sabda Nabi saw: “Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku.”

Dari uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta’ajjub (berbangga diri) dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah swt. Dengan hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi saw: saddidu, wa qaribu, wa absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai`un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang diidamkan (surga).

sumber : pemikiranislam.net